Alam Biotik yakni kelompok makhluk yang hidup (lingkungan biotik) dan kelompok makhluk yang tak hidup (lingkungan abiotik). Jika dicermati maka Anda akan melihat bahwa yang termasuk lingkungan biotik adalah pohon, rerumputan, dan rusa.
Gejala Alam Abiotik Gejala alam abiotik berkaitan dengan sifat fisik dan kimia di luar makhluk hidup, contohnya hujan, pelapukan, erosi, ledakan, dan sebagainya. Beberapa karakteristik atau sifat gejala alam abiotik antara lain: wujud, bentuk, warna, ukuran, bau, rasa, struktur, dan tekstur.
Selanjutnya kita cermati salah satu komponen abiotic seperti pada gambar. Air akan mengalami gejala alam berupa menerima suhu tinggi sehingga terjadi penguapan yang menjadi awan. Apabila awan sudah terkumpul, penurunan suhu akan menimbulkan pengembunan. Pengembunan akan mengubah awan kembali menjadi air melalui hujan.
Dengan demikian, gejala alam yang diterima oleh air terdiri dari penaikan suhu, penguapan, terbentuk awan, penurunan suhu, pengembunan, hujan, dan kembali menjadi air.
Interaksi Peristiwa Alam Biotik dan Abiotik
Saling mempengaruhi antara alam biotik dan abiotik biasa disebut juga saling ketergantungan. Banyak hal dalam kehidupan nyata sehari-hari yang menunjukkan saling pengaruh tersebut. Biji yang diletakkan di atas tanah dapat tumbuh menjadi mahkluk hidup (biotik), jika faktor abiotik temperatur sesuai dan tanah tempatnya berada cukup.
Keadaan akan berbeda jika temperatur sangat panas atau sangat dingin serta tanah yang gersang maka kemungkinan biji tidak akan tumbuh dengan baik. Dalam hal ini faktor abiotik sangat berpengaruh terhadap faktor alam biotik.
Ketergantungan Manusia dan Hewan terhadap Tumbuhan Hijau
Tumbuhan hijau mampu melakukan fotosintesis menghasilkan oksigen. Selain digunakan oleh tumbuhan, sebagian oksigen dilepaskan ke udara di lingkungan sekitarnya. Oksigen dihirup oleh manusia dan hewan pada saat bernapas.
Tanpa tumbuhan hijau, oksigen lama-kelamaan akan habis jika digunakan terus oleh manusia dan hewan. Namun, tumbuhan selalu menyediakan oksigen di alam. Jadi, manusia dan hewan membutuhkan tumbuhan hijau agar oksigen tetap tersedia di alam.
Tumbuhan hijau juga merupakan sumber energi bagi hewan dan manusia, oleh sebab itu tumbuhan hijau digolongkan sebagai makhluk hidup ototrof dan berperan sebagai produsen. Selain manusia, hewan juga memperoleh sumber energi dari tumbuhan hijau. Hewan herbivora (hewan pemakan tumbuhan) bergantung secara langsung kepada tumbuhan.
Apabila tidak ada tumbuhan, jenis-jenis hewan tersebut akan mati kelaparan. Akibatnya, jumlah jenis-jenis hewan herbivora akan semakin berkurang. Peristiwa ini akan menyebabkan hewan-hewan karnivora (hewan pemakan daging) menjadi kekurangan bahan makanan. Jadi, hewan-hewan karnivora secara tidak langsung juga bergantung kepada tumbuhan.
Demikian juga untuk makhluk hidup golongan omnivora (pemakan tumbuhan dan hewan lain). Gejala alam yang menggambarkan ketergantungan hewan dan manusia terhadap tumbuhan hijau adalah adanya rantai makanan dan jaring-jaring makanan dalam suatu ekosistem.
Keanekaragaman hayati untuk keberlanjutan kehidupan manusia
Keanekaragaman hayati bersifat multidimensi. Hal ini digambarkan oleh beragamnya definisi/pengertian yang telah di kemukakan. Kesamaan diantara berbagai pengertian yang telah di kemukakan. Kesamaan di antara berbagai pengertian keanekaragaman hayati adalah tiga komponen prinsip, yaitu ekosistem, jenis, dan gen. Tiga komponen prinsip ini juga diacu di dalam pengertian keanekaragaman hayati menurut konvensi keanekaragaman hayati.
Pengertian menurut konvensi ini adalah : Keanekaragaman hayati ialah keanekaragaman di dalam makhluk hidup dari semua sumber, termasuk diantaranya, daratan, lautan dan ekosistem perairan lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman di dalam jenis, antar jenis dan ekosistem
Dalam pengertian lain; keanekaragaman hayati merujuk pada keanekaragaman semua jenis tumbuhan, hewan dan jasad renik (mikroorganisms), serta proses ekosistem dan ekologis dimana mereka menjadi bagiannya. Keanekaragaman genetik (didalam jenis) mencakup keseluruhan informasi genetik sebagai pembawa sifat keturunan dari semua makhluk hidup yang ada.
Keanekaragaman jenis berkaitan dengan keragaman organisme atau jenis yang mempunyai ekspresi genetis tertentu. Sementara itu, keanekaragaman ekosistem merujuk pada keragaman habitat, yaitu tempat berbagai jenis makhluk hidup melangsungkan kehidupannya dan berinteraksi dengan faktor abiotik dan biotik lainnya.
Keanekaragaman hayati lebih dari sekedar jumlah jenis-jenis flora dan fauna. Kawasan hutan Indonesia dan ekosistem daratan lainnya mewadahi keanekaragaman hayati yang sangat besar.
KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KESEJAHTERAAN MANUSIA
1. Interaksi Manusia dan Keanekaragaman Hayati
Manusia tergantung kepada keanekaragaman hayati untuk pangan, enersi, papan, obat-obatan, inspirasi dan banyak lagi kebutuhan lain. Keanekaragaman hayati dan manusia telah mempunyai keterkaitan yang erat dan saling mendukung selama puluhan ribu tahun. Sumber daya hayati untuk pemenuhan kebutuhan hidup mempunyai karakter penting yaitu bersifat renewable, paling tidak jika dikelola dengan bijaksana.
Cara masyarakat memanfaatkan keanekaragaman hayati menentukan kelestarian sumber daya ini, dan cara masyarakat mengelolanya akan menentukan produktivitas sumber daya yang penting ini dan kelestarian fungsi-fungsi ekologisnya. Kegiatan manusia telah membantu terciptanya keanekaragaman jenis dan plasma nutfah, dan telah meningkatkan komunitas hayati di dalam lingkungan yang tertentu melalui praktik pengelolaan sumber daya dan melalui domestikasi tumbuhan dan satwa. Disisi lain manusia juga telah menyebabkan menurunnya mutu keanekaragaman hayati beserta fungsi-fungsi ekologis yang di hasilkannya.
Menurunnya mutu keanekaragaman hayati ini dapat dilihat dari laju kepunahan jenis dan viabilitas jenis-jenis yang masih bertahan. Hubungan manusia dengan keanekaragaman hayati dapat di gambarkan dalam diagram siklus interaksi. Dari sudut pandang antroposentris, interaksi dimulai dari faktor-faktor pendorong hubungan yang ada di masyarakat, seperti untuk pemenuhan kebutuhan, inspirasi dan fungsi-fungsi ekologis sebagai pendukung kehidupan.
Faktor pendorong ini akan mempengaruhi dampak kegiatan manusia pada keanekaragaman hayati. Meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan hidupnya akan meningkatkan dampak kegiatan manusia pada keanekaragaman hayati; dampak tersebut kemudian akan mempengaruhi kondisi dan dinamika keanekaragaman hayati, yang kemudian mempengaruhi nilai-nilai dan fungsi keanekaragaman hayati dan pada akhirnya akan mempengaruhi pula ketersediaan dan kualitas keanekaragaman hayati dalam memenuhi kebutuhan manusia dan juga dalam menjamin kelestariannya.
Sementara itu, kondisi dan dinamika, nilai-nilai dan dampak kegiatan manusia pada keanekaragaman hayati dapat pula diupayakan melalui peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjadi faktor pendorong bagi berubahnya pola konsumsi efisiensi pemanfaatan sumber daya dan apresiasi masyarakat. Peningkatan kesadaran dan apresiasi akan mempengaruhi pula dampak kegiatan manusia, kondisi dan dinamika dan cara penilaian fungsi-fungsi keanekaragaman hayati melalui upaya-upaya tertentu dalam pengelolaan pendidikan dan lain sebagainya.
2. Manfaat keanekaragaman Hayati bagi Manusia
Tumbuhan, hewan dan mikroorganisme penghuni planit biru ini, saling berinteraksi didalam lingkungan fisik suatu ekosistem, merupakan fondasi bagi pembangunan berkelanjutan. Sumber daya hayati dari kekayaan kehidupan ini mendukung kehidupan manusia dan memperkaya aspirasi serta memungkinkan manusia untuk beradaptasi dengan peningkatan kebutuhan hidupnya serta perubahan lingkunganya. Erosi keanekaragaman plasmanutfah, jenis, dan ekosistem yang berlangsung secara tetap akan menghambat kemajuan dalam proses masyarakat yang sejahtera secara berkelanjutan.
Erosi keanekargaman hayati ini merupakan indikasi dari ketidakseimbangan antara peningkatan kebutuhan manusia dan kapasitas alam. Pada saat manusia memasuki revolusi industri, ada kurang lebih 850 juta jenis flora-fauna yang bersama-sama menghuni bumi. Pada saat ini, dengan populasi manusia sekitar enam kali, dan dengan tingkat konsumsi sumber daya yang berlipat jauh lebih besar, peningkatan kapasitas alam melalui upaya budi daya dan pengelolaan sumber daya tidak mampu mengikuti peningkatan pertumbuhan populasi dan kebutuhan hidupnya.
Dari komponen-komponen keanekaragaman hayati, baik diperoleh langsung dari alam maupun melalui budi-daya, umat manusia memperoleh semua bahan pangan dan sejumlah besar obat-obatan, serat bahan baku industi. Sumbangan perekonomian dari pemanenan komponen keanekaragaman hayati dari alam saja telah mennyumbang empat setengah persen GDP Amerika, atau bernilai 87 milyar dollar pada akhir tahun 1970.
Perikanan lepas pantai, yang berasal dari jenis-jenis non budi daya telah menyumbang sekitar 100 juta ton bahan pangan. Pada beberapa negara berkembang masyarakat masih mencari bahan kebutuhan pangan pokok mereka dari alam.
Umbi-umbian, dan sagu di Irian jaya, dan beberapa sumber karbohidrat utama di beberapa negara masih diperoleh langsung dari alam . Nilai komponen keanekaragaman hayati yang dibudidayakan jauh lebih besar lagi. Pertanian menyumbang sekitar 32 persen dari GDP negara-negara berkembang. Perdagangan produk pertanian pada tahun 1989 mencapai 3 triliyun dolar.
Komponen keanekaragaman hayati juga penting bagi kesehatan manusia. Sebelum industri sintesa muncul, semua bahan obat-obatan diperoleh dari alam, dan bahkan sekarang bahan-bahan alami ini masih vital. Obat-obatan tradisional mendukung pemeliharaan kesehatan bagi sekitar 80 % penduduk negara berkembang, atau lebih dari tiga milyar jiwa secara keseluruhan.
Pengobatan tradisional saat ini di dorong perkembangannya oleh Badan Kesehatan Dunia WHO, dan juga di banyak negara,termasuk negara maju. Demikian juga untuk pengobatan modern, seperempat dari resep obat-obatan yang di berikan Amerika Serikat mengandung bahan aktif yang diekstraksi dari tumbuh-tumbuhan dan hewan, dan lebih dari 3000 antibiotik, termasuk penisilin dan tetrasiklin, diperoleh dari mikroorganisma.
Siklosporin, di kembangkan dari suatu kapang tanah, merupakan penemuan revolusioner bagi transplantasi jaringan manusia, seperti untuk jantung dan ginjal, karena mampu menekan efek penolakan tubuh atas organ baru. Aspirin dan banyak obat-obatan lainnya yang sekarang mampu disintesakan kimiawi, pertama kali diekstraksi dari tumbuhan liar.
Senyawa-senyawa yang diekstraksi dari tumbuhan, mikroba dan hewan merupakan komponen dalam perumusan obat-obatan terlaris di Amerika yang mencapai angka perdagangan sebesar 6 milyar dolar pada tahun 1988. Komponen keanekaragaman hayati juga mempunyai fungsi sebagai komoditi pariwisata.
Diseluruh dunia, pariwisata alam menghasilkan sekitar 2 hingga 12 milyar dolar pendapatan setiap tahun. Selain fungsi ekonomi seperti tersebut diatas, keanekeragaman hayati mempunyai fungsi sosial dan ekologis. Fungsi sosial keanekaragaman hayati adalah memberikan kesempatan atau lapangan kerja, bagian dari elemen spiritual masyarakat yang membentuk budaya setempat, serta membentuk jati diri masyarakat. Nilai spiritual dan aspirasi dari fungsi sosial ini juga mempengaruhi atau meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat.
Fungsi ekologis keanekaragaman hayati berkaitan dengan proses-proses ekologis keaneka ragaman hayati, yaitu proses pertumbuhan, perkembangbiakan, dan evolusi. Tumbuhan menghasilkan oksigen dan menyaring polutan udara, memberikan mutu udara yang diperukan untuk pernafasan manusia serta makhlluk hidup lainnya.
Proses mikroorganisme tanah memperbaiki kondisi kimiawi dan biologis tanah, struktur tanah serta kesuburan tanah secara umum, serta proses-proses lainnya mendukung kehidupan manusia dalam hal memberikan kualitas kehidupan yang lebih baik. Fungsi, jasa dan produk komponen keanekaragaman hayati diatas, serta besarnya nilai ekonomi yang dihasilkan tidak akan dapat diperoleh secara lestari jika sumber dayanya sendiri tidak dikelola secara lestari.
Dari gambaran di atas, dapat di ketahui bahwa keanekaragaman hayati berperan sangat penting dan vital untuk menjamin kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Mulai dari mutu udara, mutu air, mutu tanah, dan mutu lingkungan secara keseluruhan, hingga untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, semuanya tergantung secara langsung maupun tak langsung pada keanekaragaman hayati.
STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Keanekaragaman hayati Indonesia telah dimanfaatkan, baik secara langsung dari alam, maupun melalui kegiatan budi daya. Namun demikian masih banyak yang perlu di gali potensinya, dan masih banyak lagi kegiatan pemanfaatan yang harus di benahi, untuk menjadikan kekayaan nasional ini sebagai aset pembangunan yang berkelanjutan.
Untuk itu pengetahuan yang mendasar mengenai besar dan sifat kekayaan nasional ini perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan pengetahuan tradisional maupun teknologi yang sesuai sebagai dasar pengembangan pemanfaatan secara lestari. Sebagaimana adat dan kebudaya yang telah berkembang selama berabad-abad, penduduk Indonesia telah memanfaatkan kekayaan keanekaragaman hayati yang terdapat di seluruh kepulauan Indonesia.
Pembiakan jenis-jenis lokal dari domba, sapi, ayam dan bebek, serta penggunaan sistem-sistem tradisional hutan-kebun dengan memanfaatkan tanaman-tanaman komersial setempat seperti jambu mete, cengkeh, kelapa dan berbagai tanaman penghasil serat, rempah-rempah dan obat-obatan. Tanaman-tanaman seperti tebu, rambutan, pisang, durian cengkeh dan kacang mete memang merupakan jenis-jenis asli dan telah dikembangkan oleh penduduk.
Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia yang merupakan sumber kehidupan masyarakat dan aset negara, maka dalam menjalankan kegiatan pembangunan perlu memperhatikan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya ini. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional diperlukan kebijaksaan dan langkah-langkah yang terkoordinasi untuk menangani masalah pengelolaan keanekaragaman hayati bagi keperluan pembangunan.
Hal ini mengingat pengelolaan keanekargaman hayati berada pada sektor maupun instansi yang terpisah. Kondisi ini tidak terlepas kemungkinan adanya tumpang-tindih kepentingan pengelolaan keanekaragaman hayati yang dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan. Untuk mengelola keanekaragaman hayati Indonesia diperlukan strategi nasional sebagai alat bantu agar semua pihak dalam melaksanakan tugasnya mengupayakan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati.
Strategi Nasional Pengelolaan Keanekargaman Hayati beserta Rencana Aksi Keaneakaragaman Hayati telah diterbitkan pada tahun 1993. Dalam Strategi Nasional ini asas yang dianut adalah pemanfaatan ilmu dan teknologi, diversifikasi/penganekaragaman pemanfaatan, dan keterpaduan pengelolaan. Disadari bahwa pengelolaan keanekaragaman hayati tidak hanya terletak pada tanggung jawab pemerintah, tetapi semua pihak memiliki kepentingan dan kewajiban.
Pihak pemerintah berkewajiban mengembangkan peraturan perundang-undangan pemanfaatan dan pelestariannya serta melaksanakan bagian yang menjadi kepentingan nasioanal atau umum. Asas keterpaduan dalam Strategi Nasional ini juga mengandung kewajiban bagi pemerintah untuk dapat menyelenggarakan koordinasi yang mantap dalam menselaraskan tugas dan kewajiban semua pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan keanekaregaman hayati.
Strategi Nasional juga mendorong untuk meningkatkan kerja sama internasional di bidang pengelolaan keanekaragaman hayati. Dalam kerja sama internasional ini Indonesia menganut asas bahwa keanekaragaman hayati merupakan sumber daya terbarukan yang di perlukan dalam meningkatkan harkat kemanusiaan.
Dalam pengelolaannya setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya keanekaragaman hayati untuk menunjang pembangunan nasional. Salah satu wujud kerja sama internasional dalam pengelolaan keanekaragaman hayati ini, Dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio de Janerio Indonesia telah menandatangani konvensi keanekaragaman hayati dan meratifikasi konvensi ini dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1994. Dengan konvensi ini Indonesia telah menjadi pihak konvensi.
PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM KESERASIAN LINGKUNGAN
1. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Berbasis bioregional
Di seluruh belahan dunia, perhatian pada permasalahan lingkungan terus meningkat. Perhatian ini adalah wujud keprihatinan mengenai keadaan lingkungan lokal maupun global dan perkiraan akan kecenderungan masa datang.
Kepedulian masyarakat didasarkan pada realisasi bahwa kondisi sistem hayati dunia adalah fundamental bagi umat manusia dan bahwa pengaruh / dampak kegiatan kita pada sistem ini semakin meningkat secara eksponensial.
Selama dekade terakhir, kepedulian dan perhatian ini difokuskan pada permasalahan keanekaragaman hayati. Konsep ilmiah dan sosial, permasalahan di seputar keanekaragaman hayati ini begitu kompleks dan sering kali disertai pengertian yang kurang cukup serta cara pandang yang terlalu sempit.
Apakah kita menghadapi krisis keanekaragaman hayati global ataukah kita berada pada tengah-tengah krisis tersebut , tak satupun jawaban yang dapat memberikan gambaran yang sebenarnya. Estimasi terakhir menunjukan bahwa lebih dari setengah permukaan bumi yang menunjang komunitas makhluk hidup telah terkena dampak kegiatan manusia. Diperkirakan pula bahwa kita sekarang pada masa kepunahan masal jenis-jenis makhluk hidup.
Keprihatinan ini bertambah lagi dengan adanya kesadaran bahwa pengetahuan kita tentang keragaman dan keanekaan jenis tumbuhan, hewan, jasad renik dan ekosistem dimana mereka berada dan berinteraksi benar-benar kurang lengkap. Pengertian pembangunan semesta pada beberapa dekade yang lalu tidak menganut azas keseimbangan.
Pembangunan lebih menitik beratkan pada aspek ekonomi, dimana eksploitasi sumber daya alam tidak di imbangi dengan rehabilitasi dan upaya pengawetan. Dengan adanya kesadaran akan dampak kerusakan yang di timbulkan dari kegiatan pemanfaatan yang tidak berwawasan lingkungan, pemahaman kedudukan manusia pada keseluruhan biosfer telah mengalami pergeseran. Manusia bukan lagi menganggap dirinya diluar ekosistem, melainkan merupakan bagian dari ekosistem tersebut.
Pengertian keanekaragaman hayati menjadi lebih luas lagi dengan melibatkan komponen manusia dengan segala kebudayaan dan sistem sosial ekonominya. Bahkan jika seluruh ekosistem alam yang tersisa dapat dilindungi dari pengaruh pembangunan, ekosistem yang tersisa ini tidak cukup untuk memelihara keanekaragaman hayati.
Keaslian yang tersisa tidak cukup besar untuk memenuhi kebutuhan habitat bagi seluruh spesies atau untuk memenuhi fungsi ekologis yang penting. Jelas bahwa keberhasilan konservasi keanekaragaman hayati akan tergantung pada kemampuan pengelolaan seluruh lanskap untuk meminimalkan kepunahan keanekaragma hayati.
Kebutuhan manusia dan kegiatannya harus di selaraskan dengan pemeliharaan keanekaragaman hayati, dan kawasan konservasi harus dipadukan dengan lingkungan alam dan buatan sekitarnya. Kebun, hutan, areal peternakan, perikanan dan pemukiman perencananya harus segaris dengan projek restorasi lahan, rehabilitasi dan perlindungan kawasan, serta upaya konservasi lainnya.
Skala upaya-upaya tersebut harus disesuaikan dengan proses-proses ekologis dan kebutuhan serta persepsi masyarakat setempat. Pendekatan keterpaduan ini di sebut dengan pengelolaan bioregional.
2. Konsep dan Pengertian bioregional
Kawasan bioregional adalah kawasan daratan dan perairan yang batas-batasnya tidak di tentukan oleh batas-batas politik, melainkan oleh batas geografis kelompok masyarakat dan sistem ekologis tertentu. Kawasan ini harus cukup besar / luas untuk menjaga integritas komunitas hayati, habitat dan ekosistem, untuk dapat mendukung proses-proses ekologis yang vital, seperti siklus nutrisi dan penguraian limbah, migrasi alami dan aliran air dan energi, untuk memenuhi kebutuhan habitat spesies-spesies kunci dan indikator, dan untuk mewadahi masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pemahaman sumber daya hayati.
Luasan kawasan bioregional ini juga dibatasi oleh masyarakat setempat. Kawasan ini harus memiliki identitas kultural yang unik dimana masyarakat setempat mampu memanfaatkannya secara subsisten berdasarkan ulayat. Hak ulayat ini bukan berarti hak yang absolut, melainkan lebih berarti bahwa kebutuhan hidup, hak-hak dan kepentingan masyarakat lokal seyogyanya menjadi titik permulaan dan kriteria untuk pembangunan dan konservasi regional, serta dalam kerangka kegiatan dimana kepentingan baik negara, swasta dan peminat lainnya dapat diakomodasi.
Di dalam suatu bioregion terdapat mosaik pemanfaatan lahan dan perairan. Setiap petak penyusun mosaik tersebut menyediakan habitat dimana berbagai jenis mampu memepertahankan diri dan berkembang biak, serta setiap petak tersebut juga mempunyai hubungan tertentu dengan suatu wilayah pemukiman manusia. Semua komponen mosaik tersebut interaktif, seperti halnya pengelolaan suatu DAS akan mempengaruhi habitat sistem sungai, perkebunan/pertanian, kegiatan perikanan, kondisi muara sungai dan terumbu karang.
Komponen-komponen tersebut juga harus bersifat dinamis; dimana perubahan dari waktu ke waktu seperti perubahan aliran sungai, regenerasi masa bero dan tanam di lahan pertanian, dan sebagainya telah diantisipasi dalam pengelolaannya. Sifat kedinamisan ini memberi kemampuan bioregion yang di kelola dengan baik, ketahanan dan fleksibilitas untuk beradaptasi pada evolusi dan pengaruh kegiatan manusia (baik terhadap perubahan iklim maupun perubahan pasar/komoditas).
Didalam kerangka ekologis dan sosial, pemerintahan, masyarakat, serta pihak swasta berbagi tanggung jawab untuk mengkoordinasikan penataan pemanfaatan lahan baik untuk lahan ulayat dan lahan milik serta untuk menentukan dan melaksanakan pilihan-pilihan pembangunan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Adanya saling membutuhkan ini membentuk keterpaduan kelembagaan dan kerja sama sosial. Dialog diantara berbagai kepentingan, perencanaan partisipatif, dan kelembagaan yang cukup fleksibel sangat menentukan keberhasilan pengelolaan bioregion.
Perangkat dan teknologi konservasi dalam jangkauan yang cukup luas harus juga diperhatikan, diantaranya pengelolaan kawasan yang dilindungi, teknologi konservasi ex situ, rehabilitasi lanskap, serta pengelolaan secara berkelanjutan sumber daya kehutanan, pertanian, dan perikanan. Konsep suaka biosfer seperti yang telah dimunculkan oleh MAB (Man and Biosphere Programme) pada tahun 1979, merupakan model pertama yang dapat digunakan sebagai titik awal pengelolaan bioregional.
Dalam model kawasan suaka ini, suatu area kawasan lindung sebagai pusat biosphere dikelilingi oleh zona penyangga dan kemudian kawasan peralihan. Pemanfaatan yang diperkenankan dalam zona penyangga di batasi pada kegiatan yang sesuai dengan fungsi perlindungan kawasan inti, seperti penelitian, pendidikan, rekreasi dan kepariwisataan, sedangkan kegiatan konservasi ex situ, pembangunan pertanian dan kehutanan diperkenankan di zona/kawasan peralihan.
Dalam zona peralihan ini pemukiman dan kegiatan budi-daya secara tradisional diperkenankan. Namun dalam skala pertanian yang besar hanya diperkenankan dilaksanakan di daerah budi daya, yaitu di luar zona peralihan. Beberapa negara telah mulai menjembatani konsep biosfer ini dengan penerapannya melalui beberapa peraturan perundangan. Indonesia, sebagai contoh, dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai konservasi Sumber Daya Alam hayati dan ekosistemnya, menetapkan bahwa suaka biosfer ini adalah salah satu kategori kawasan konservasi yang diakui secara legal.
3. Dinamika dan Elemen bioregional
Bioregional memiliki keunggulan ekologi, ekonomi dan sosial budaya yang jelas. Pengelolaan keanekaragaman hayati dan pembangunan daerah melalui konsep bioregional ini memberikan skala pembangunan dalam ruang dan sosial yang wajar dan manusia bagi sebagian besar masyarakat. Peralihan dari konsep pembangunan yang konservatif dan konsep bioregional membutuhkan penyelarasan faktor sosial yang cukup besar.
Masyarakat di harapkan dapat memulai pengembangan jati diri dalam pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan berdasar keunggulan daerah yang dimilikinya; keunggulan tersebut adalah kearifan setempat dalam pengelolaan lingkunagan, komponen keanekaragaman hayati yang khas dan mempunyai potensi pasar, dan berbagai kondisi yang menguntungkan dalam bioregionalnya.
Tiga masalah utama dalam pengembangan perekonomian berdasar jati diri daerah adalah :
a). Pendekatan bioregional membutuhkan kemauan politik daerah dan pusat untuk desentralisasi, membuka peluang lebih besar untuk akses dan kesetaraan dan penanganan atau tindakan kelembagaan bagi sebagian besar sektor pembangunan. Pada saat ini, perencanaan dan pengelolaan sumber daya masih dirasa terlalu tersentralisasi, pembagian dan spesialisasi sektoral masih terlalu besar, dan sebagian besar peraturan perundangan dan struktur administratif belum dapat mendukung konsep ini ;
b).Berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan pembangunan berbasis bioregion mempunyai kekuasaan, akses dan pemilikan informasi yang tidak setara, sehingga masing-masing aktor ini tidak dapat berpartisipasi secara efektif dan merata ;
c).Pemerintah daerah atau sektor terkait belum mengembangkan studi mengenai potensi komponen keanekaragaman hayati unggulan yang dapat merupakan jati diri daerah dalam arti mampu dikembangkan sebagai komoditi unggulan bagi perekonomian daerah, atau merupakan ciri khas daerah yang mampu dikembangkan budi dayanya untuk memperoleh nilai ekonomi.
Sebagai penjelasan dari pendekatan konsep pembangunan bioregional dapat digambarkan dalam elemen dan dinamika bioregion sebagai berikut :
1. Bioregional development plan berpusat pada kawasan-kawasan lindung dan atau kawasan konservasi yang sudah ada sebagai inti bioregion, dimana fungsi-fungsi ekologis dan pengawetan plasmanutfah dilaksanakan dengan ketat; kawasan ini dikelilingi oleh suatu ozon penyangga yang berfungsi untuk penelitian, pendidikan, perlindungan dan kegiatan ekstraksi secara sangat terbatas. Di sebelah luar dari zona penyangga ini terdapat zona peralihan dimana kegiatan ekstraksi dalam bentuk hutan produksi terbatas dan pertanian/peternakan terbatas dapat dilaksanakan. Di luar zona ini, terdapat kawasan produksi/budi-daya dan pemukiman. Dari segi pengembangan dan ketahanan komoditas, zona inti bioregion yang dikelola sebagai pusat konservasi yang dimaksud dapat di kembangkan atau ditetapkan dari hasil studi pusat keanekaragaman hayati unggulan.
2. Daerah aliran sungai (DAS) dikelola secara keseluruhan, mulai dari mata air di daerah pegunungan hingga kelautan, serta melintasi berbagai tata guna lahan dari kawasan lindung di daerah pegunungan hingga ke perikanan tambak di daerah muara sungai.
3. Lahan-lahan kritis di rehabilitasi hingga mempunyai berbagai nilai pemanfaatan, termasuk untuk konservasi air dan tanah, perlindungan kawasan pesisir, produksi kayu, pertanian, peternakan, dan perluasan kawasan lindung.
4. Kawasan pesisir dan lautan dikelola untuk mengkonservasi terumbu karang dan kunci, mangrove, pantai dan elemen lainnya, menjaga produktivitas perikanan laut, serta mendukung pembangunan perekonomian masyarakat setempat melalui pengembangan pariwisata alam yang di tata secara hati-hati.
5. Dataran penggembalaan dikelola dalam batas-batas daya dukungnya untuk memelihara flora-fauna asli, mengembangkan ternak, dan menjamin pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat peternak, atau petani nomad. Dalam menjaga daya dukung kawasan diutamakan untuk mengembangkan ternak asli daerah dan apabila akan dikembangkan ternak dari luar, harus disesuaikan dengan kondisi setempat.
6. Lahan-lahan pertanian dikelola untuk mengoptimalkan produktivitas jangka panjang dan ikut melestarikan keanekaragaman hayati dengan mengurangi bahan kimiawi sistesis untuk pemupukan dan pengendalian hama-penyakit, memanfaatkan sebesar mungkin jenis-jenis unggulan lokal sebelum memutuskan menggunakan bibit eksotik, serta melakukan penanaman pohon-pohonan, pembatas lahan, perindang jalan dan hutan masyarakat dalam membentuk lanskap kawasan pertanian. Kembangkan juga agroforestydi dalam pemanfaatan zona peralihan.
7. Suatu rangkaian kelembagaan berbasis masyarakat sebagai pendukung konservasi keanekaragaman hayati termasuk penyimpanan benih (seedbank), pelayanan penyuluhan pertanian, serta stasiun penelitian, inventarisasi dan pemantauan keanekaragaman hayati perlu dikembangkan bersama-sama dalam bioregion tertentu.
8. Kawasan perkotaan yang besar dalam suatu bioregion menyediakan serangkaian lembaga pendukung. Termasuk dalam hal ini adalah kebun binatang, akuarium, dan kebun raya yang dapat dimanfaatkan untuk mengawektan (secara terbatas) jenis-jenis yang terancam kepunahan dan mendidik masyarakat; sekolah-sekolah dan tempat ibadah, serta media massa untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat; lembaga swadaya masyarakat dapat membantu menyediakan dukungan dan informasi baik bagi pemerintah maupun masyarakat; serta pusat informasi keanekaragaman hayati yang berperan sebagai focal point untuk dialog bioregional, pertukaran informasi dan kegiatan kolektif.